Wednesday, August 22, 2012

Wishful Wednesday (16)


Baru kemarin aku menemukan satu lagi historical fiction yang kayaknya menarik, bersetting di Amerika dan nampaknya sebuah family saga yang banyak mengambil tema alam. Aku menemukannya di blog Jillian yang saat ini sedang membaca buku yang baru saja terbit ini. Maka langsung saja aku ambil untuk Wishful Wednesday minggu ini.

The Orchardist
by Amanda Coplin



Synopsis:

Set in the untamed American West, a highly original and haunting debut novel about a makeshift family whose dramatic lives are shaped by violence, love, and an indelible connection to the land
"The Orchardist is like one of its characters: 'an egg encased in iron'-an elemental story filled with the perfection of the natural world. Nearly everybody in the book compels your admiration, either for their courage or for the heavy work they do, all the time and without complaint, even when wicked men are hunting them. Transfixing. I love this book straight through."-Salvatore Scibona, author of National Book Award Finalist.

You belong to the earth, and the earth is hard.

At the turn of the twentieth century, in a rural stretch of the Pacific Northwest in the foothills of the Cascade Mountains, a solitary orchardist named Talmadge carefully tends the grove of fruit trees he has cultivated for nearly half a century. A gentle, solitary man, he finds solace and purpose in the sweetness of the apples, apricots, and plums he grows, and in the quiet, beating heart of the land-the valley of yellow grass bordering a deep canyon that has been his home since he was nine years old. Everything he is and has known is tied to this patch of earth. It is where his widowed mother is buried, taken by illness when he was just thirteen, and where his only companion, his beloved teenaged sister Elsbeth, mysteriously disappeared. It is where the horse wranglers-native men, mostly Nez Perce-pass through each spring with their wild herds, setting up camp in the flowering meadows between the trees.

Menarik kayaknya…
Adakah buku yang kamu inginkan minggu ini? Masukin Wishful Wednesday yuk! Beberapa kali buku incaranku akhirnya aku dapatkan setelah masuk WW lho! :)



  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)


Thursday, August 16, 2012

Lust For Life


Begitu menutup lembar terakhir buku ini, tidak…sebenarnya sepanjang paruh kedua buku ini, ada tiga pertanyaan menggelayut di pikiranku: Adakah perbedaan antara kejeniusan dan kegilaan? Apakah seorang pelukis mampu melukis dengan hebat karena ia memiliki bibit-bibit kegilaan? Ataukah ia menjadi gila akibat mencurahkan emosi sebegitu besarnya pada lukisan? Dan yang terakhir, apa sebenarnya ‘gila’ itu? Membaca buku ini saja takkan mampu menjawab pertanyaan itu, malah aku merasa buku ini memang benar-benar gila. GILA bagusnya!!

Lust for Life menuturkan kisah hidup Vincent Van Gogh (30 Maret 1853 – 29 Juli 1890), seorang maestro seni lukis asal Belanda yang merupakan salah satu pelukis termahal di dunia. Van Gogh adalah salah satu pelukis beraliran post-impressionist yang saat itu tengah melanda Prancis. Para pelukis lain yang sealiran dengannya antara lain Paul Gauguin, Paul Cezanne, Henri de Toulouse-Lautrec, dan Georges Seurat, yang adalah kawan-kawannya. Lukisan Van Gogh memiliki ciri khas sapuan yang kasar namun cantik, dengan warna-warna yang tegas dan cat yang tebal, menyiratkan emosi yang sepenuhnya dicurahkan sang pelukis. Sementara pelukis-pelukis sebelumnya menangkap keindahan untuk ditorehkan ke atas kanvas, Van Gogh justru memotret kesuraman hidup, kemiskinan dan penderitaan yang karakter kuatnya kemudian ia pancarkan lewat kanvasnya. Van Gogh melukis bukan untuk memanjakan mata, namun untuk merasakan getar kehidupan dari manusia maupun alam.

Salah satu lukisan awalnya: The Potato Eaters, memotret sebuah keluarga petani miskin di Nuenen. Lukisan ini disebut oleh Van Gogh sebagai karya terbaiknya.

"You see, I really have wanted to make it so that people get the idea that these folk, who are eating their potatoes by the light of their little lamp, have tilled the earth themselves with these hands they are putting in the dish, and so it speaks of manual labor and — that they have thus honestly earned their food. I wanted it to give the idea of a wholly different way of life from ours — civilized people. So I certainly don’t want everyone just to admire it or approve of it without knowing why." ~dari wikipedia

Mereka menanam kentang, mencangkul kentang, dan memakan kentang; itulah kehidupan mereka.

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Nuenen, The Netherlands: April, 1885
Van Gogh Museum, Amsterdam


Van Gogh lahir dari keluarga pendeta, dan digadang-gadang oleh keluarganya menjadi penerus sang ayah, berkarya melayani Tuhan. Selama bertahun-tahun Van Gogh berjalan tak tentu arah mencari panggilan hidupnya. Berawal dari penjual lukisan di galeri, Van Gogh tak puas karena mereka hanya fokus pada faktor komersial saja, tanpa mengindahkan seni sama sekali.

Kemudian setelah belajar di sekolah alkitab, Van Gogh menyadari bahwa ia harus berkarya di daerah yang miskin, maka ia bertolak ke Borinage, sebuah desa pertambangan di Belgia. Namun di sana ia menemukan bahwa bukan sabda Tuhan yang dibutuhkan masyarakat, melainkan makanan, pakaian dan obat-obatan. Maka layaknya seorang martir, Van Gogh pun mengorbankan semua miliknya bagi mereka yang paling menderita. Tak mampu menolong mereka, ia mulai kehilangan imannya kepada Tuhan. Lalu berkat bantuan adiknya yang sangat mencintainya, Theo, ia pun menemukan jalan hidupnya yaitu melukis.

Ketika anda memandang sebuah lukisan terutama karya seorang maestro, jangan membayangkan bahwa si pelukis, karena bakatnya, tinggal duduk di depan kanvas, mengulaskan kuas ke atasnya, lalu sim-salabim…..terciptalah lukisan indah yang kemudian terpajang di galeri-galeri. Tidak. Sama sekali tidak! Untuk menciptakan karya yang optimal, seorang pelukis membutuhkan paling tidak sepuluh tahun untuk berlatih, belajar dan terus melukis. Awalnya lukisannya akan terlihat mentah, lalu lama kelamaan lukisannya akan bertambah ‘matang’, hingga suatu hari ia akan mencapai puncak, dan ketika namanya kelak sudah mendunia, lukisan-lukisan awalnya pun akan terus diburu orang. Sepanjang hidupnya Van Gogh hanya pernah mengalami rasa bangga karena lukisannya terjual sebanyak satu kali saja!

Inilah lukisan The Red Vineyard yang pertama dijual Theo adiknya seharga empat ratus franc:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Arles: November, 1888
Pushkin Museum, Moscow


Membaca buku ini aku semakin menyadari betapa beratnya perjalanan seorang pelukis. Ternyata melukis bukan sekedar memulas kuas ke kanvas untuk membubuhkan bentuk dan warna, melukis adalah pertama-tama menangkap energi dan esensi sebuah obyek menurut sudut pandang si pelukis, lalu menuangkannya ke atas kanvas agar orang yang melihatnya menangkap pemikiran atau perasaan si pelukis tentang obyek itu. Jadi lukisan yang indah bukan dinilai dari indah/tidaknya obyek yang dilukis, melainkan lebih pada mampu/tidaknya si pelukis mencerminkan esensi obyek itu. Kupikir-pikir, melukis sama saja dengan mereview sebuah buku (seperti tulisan ini), tujuannya adalah menangkap esensi atau emosi sebuah buku dan menuangkannya dalam review. Lukisan dan review hanya berbeda medianya saja…

Vincent Van Gogh sendiri berjuang selama lebih dari sepuluh tahun, selama itu ia berpindah-pindah tempat, dar Belanda, ke Belgia, ke Paris, dan banyak kota-kota kecil di antaranya. Ia juga sering mengalami kegagalan cinta—dan seringkali karena si wanita atau keluarganya memandang rendah dirinya yang kerjanya ‘hanya’ melukis, miskin, tak punya masa depan. Van Gogh hidup sangat miskin, hanya bergantung pada uang saku yang dikirimkan oleh sang adik Theo. Seumur hidupnya Van Gogh tak pernah mampu membiayai hidupnya sendiri, kerapkali ia harus menahan lapar demi hasrat yang meledak-ledak untuk melukis. Namun ia selalu sadar dan yakin bahwa melukis adalah panggilan hidupnya.

Lukisan bunga matahari Van Gogh dalam bentuk Still Life yang penuh warna kuning cerah, warna yang menjadi ciri khas sampul buku ini:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Arles, France: August, 1888
National Gallery, London


Sepanjang hidupnya yang singkat (ia meninggal di usia 37 tahun), Van Gogh tak banyak disukai orang, banyak yang menganggapnya gila dan menilai lukisannya sebagai karya yang buruk. Pendeknya, bagi dunia Van Gogh adalah manusia yang gagal. Padahal semua itu karena dunia tak mau benar-benar menghargai jiwa seni.

Aku tahu bahwa pada dasarnya memang benar bahwa pelukis adalah orang yang terlalu diserap oleh apa yang dilihatnya dan tidak cukup menguasai bagian kehidupannya yang lain. Tapi apakah itu membuatnya tidak pantas hidup di dunia ini?” ~hlm. 527

potret diri, dilukis Van Gogh dari cermin
Apakah karenanya semangat Van Gogh kemudian surut? Tidak. Dan ini mungkin sebuah filosofi yang harus dianut semua orang yang berjiwa seni, dan seni itu menjadi panggilan hidupnya.

Apa yang dipikirkan dunia tidak banyak bedanya. Rembrandt harus melukis. Apakah dia melukis dengan baik atau jelek, tidak jadi soal baginya; melukis adalah sarana yang membuatnya menjadi seorang manusia yang utuh. Nilai utama seni, Vincent, terletak pada ekspresi yang diberikannya kepada pelukis. Bahkan kalau karyanya (Rembrandt) tidak dihargai, dia ribuan kali lebih sukses daripada kalau dia meninggalkan keinginannya dan menjadi pedagang kaya di Amsterdam.” ~hlm. 51

Untunglah bagi kita semua, bahwa orang-orang seperti Vincent Van Gogh, meski harus menderita, dikucilkan, namun tak pernah berpaling dari apa yang menjadi jiwanya. Kupikir mereka adalah orang-orang yang sukses karena mereka, dengan kegigihannya, berhasil mewujudkan hasratnya terlepas dari segala kendala dan meski tak ada orang yang menghargainya. Asalkan mereka memiliki cinta, mampu mencintai dan dicintai. Di hidupnya yang hanya 37 tahun, terlepas dari semua derita dan kegilaannya, kupikir Vincent Van Gogh telah menjalani hidup yang sempurna.

Lukisan Van Gogh yang paling terkenal: The Starry Night, yang dilukisnya ketika sudah tinggal di Rumah Sakit Jiwa Saint Remi:

Vincent van Gogh
Painting, Oil on Canvas
Saint-Rémy, France: June, 1889
The Museum of Modern Art, New York


Sekarang kembali pada pertanyaanku di paragraf awal tentang kegilaan, karena ya..pada akhir karirnya Vincent boleh kita anggap menjadi gila (bila bipolar disorder dan schizophrenia bisa dikatakan gila) dan harus tinggal di Rumah Sakit Jiwa. Sekali lagi pertanyaannya adalah, apakah memang ada bakat kegilaan dalam diri Van Gogh atau pelukis lainnya yang membuat mereka berhasil menjalani hidup sebagai pelukis? Atau justru gaya hidup mereka sebagai pelukis dengan emosi yang meledak-ledaklah yang membuat mereka menjadi gila? Yang manapun yang benar, kupikir sekarang tak menjadi soal, toh seseorang disebut gila karena ia memiliki pemikiran yang berbeda dari pakem yang ada, atau out of the box istilahnya. Buktinya, meski Vincent Van Gogh pada jamannya dianggap gila dan lukisanya jelek, kini ia menjadi salah satu maestro dunia yang lukisannya terjual dengan nilai yang menakjubkan. Jadi, sebenarnya yang gila pelukisnya atau para pecinta seni yang rela merogoh kocek untuk memajang pulasan kuas yang kasar dan penuh energi itu? Satu hal yang pasti buatku, buku ini sendiri memang gila, GILA bagusnyaaa!

Judul: Lust For Life
Penulis: Irving Stone
Penerjemah: Rahmani Astuti
Editor: Anton Kurnia
Penerbit: Serambi Cerita Utama
Terbit: Juli 2012
Tebal: 574 hlm

Wednesday, August 15, 2012

Wishful Wednesday (15)


Setelah beberapa kali absen, aku kembali memposting Wishful Wednesday-ku. Bukan karena aku tak punya buku yang kuingnkan, tapi justru karena kebanyakan, akhirnya bingung sendiri… :). Kebetulan kemarin aku baru saja menamatkan sebuah buku yang sangat-sangat bagus: Lust For Life karya Irving Stone (review menyusul). Karena itu aku langsung teringat akan buku lain karya Stone untuk Wishful Wednesday minggu ini:

The Agony and The Ecstasy
By Irving Stone



Synopsis:

Irving Stone's classic biographical novel-in which both the artist and the man are brought to life in full. A masterpiece in its own right, this novel offers a compelling portrait of Michelangelo's dangerous, impassioned loves, and the God-driven fury from which he wrested the greatest art the world has ever known.

Aku sudah pernah menonton filmnya, film jadul, dan saat itupun aku tahu bahwa bukunya akan sangat menarik. Irving Stone sudah terbukti mampu menawan hatiku dengan Lust For Life, maka berikutnya buku ini harus kubaca juga! Semoga aku bisa mewujudkannya :)



  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)


TBRR Historical Fiction Challenge


Pas banget, ketika aku sedang berusaha menghabiskan tumpukan buku-buku Historical Fiction untuk dibaca hingga akhir tahun ini, Hobby Buku membuat sebuah reading challenge! TBRR (To be Read & Review) Historical Fiction Challenge yang akan berlangsung dari 1 Agustus hingga 31 Desember 2012. Dan asyiknya lagi, challenge ini akan dihitung berdasarkan jumlah halaman, bukan sekedar jumlah buku saja. Pas buat para penggemar buku-buku sexy! :)

Kebetulan kemarin aku baru saja selesai membuat jadwal baca hingga Desember, maka langsung saja aku post Historical Fiction yang akan aku baca untuk challenge ini.

Untuk tantangan jumlah halaman, dengan pede-nya aku memilih….

Historian [≥ 1000 pages/month]

Agustus
1. Selene (Cleopatra’s Daughter) by Michelle Moran = 499 hlm
    [Putri Cleopatra saat pemerintahan Oktavianus/Kaisar Augustus sekitar 31 s/d 26 SM]
2. Lust For Life by Irving Stone = 574 hlm
    [Kisah hidup pelukis Belanda Vincent Van Gogh, abad 19]
Total = 1073 hlm - DONE

September
1. Gone With The Wind Part 1 by Margaret Mitchell = 191 hlm
    [American Civil War, abad 19]
2. Gone With The Wind Part 2 by Margaret Mitchell = 207 hlm
3. Gone With The Wind Part 3 by Margaret Mitchell = 319 hlm
4. Rahasia Meede by E.S. Ito = 675 hlm
    [Sejarah kolonial Belanda di Indonesia]
Total = 1392 hlm - DONE

Oktober
1. Gone With The Wind Part 4 by Margaret Mitchell = 460 hlm
2. Pompeii by Robert Harris = 392 hlm
    [Meletusnya Mt. Vesuvius, abad 1]
3.  I, Claudius by Robert Graves = 433 hlm
    [Kerajaan Romawi, th. 40-an SM]
Total = 1285 hlm - DONE

November
1. Gone With The Wind Part 5 by Margaret Mitchell = 271 hlm
2. Julius Caesar by William Shakespeare = 160 hlm
    [Kerajaan Romawi, th. 40-an SM] 
3. Genghis Khan: Badai Di Tengah Padang by Sam Djang = 482 hlm
    [Kerajaan Mongolia, abad 13]
4. Vivaldi’s Virgins by Barbara Quick = 304 hlm
    [Komposer Vivaldi, abad 18]
Total = 1217 hlm - DONE

Desember
1. Antony & Cleopatra by William Shakespeare = 400 hlm
    [Kerajaan Romawi, SM]
2. A Tree Grows in Brooklyn by Betty Smith = 664 hlm
    [Awal abad 20, permulaan WW2]
Total = 1064 hlm

Semoga terpenuhi hingga akhir tahun, dan bisa meraih salah satu hadiahnya. Tapi untuk mengalahkan jumlah halaman yang akan dibaca Hobby Buku, rasanya mustahil deh…. :) Kamu mau ikutan juga? Langsung saja ke sini!

Monday, August 13, 2012

Cleopatra’s Daughter – Selene


Nama Cleopatra sang Ratu Mesir pasti sudah pernah mampir ke telinga kita, namun jarang yang mengenal anak-anaknya. Dalam historical fiction yang kuulas ini, Michelle Moran mengisahkan sejarah Romawi dalam kurun waktu abad 31 SM hingga sekitar 26 SM. Abad 31 SM tercatat dalam sejarah sebagai kekalahan armada laut milik Markus Antonius dan Cleopatra yang saat itu memerintah Mesir terhadap pasukan Oktavianus. Oktavianus ini kelak kita kenal dengan nama Kaisar Augustus, yang sebelumnya bersama Markus Antonius dan Lepidus merupakan para pendukung Julius Caesar. Markus Antonius dan Ratu Cleopatra akhirnya harus menemui ajal dengan bunuh diri setelah kekalahan mereka, sementara tiga orang keturunan mereka: si kembar Cleopatra Selene dan Alexander Helios serta Ptolemeus dibawa Oktavianus ke Roma bersama harta benda Ratu Cleopatra.

Kisah ini dituturkan lewat sudut pandang Selene, seorang anak perempuan yang pada usia sebelas tahun telah memperlihatkan kecerdasannya berkat didikan ibunya di Mesir. Ketika tiba di Roma, Selene dan Alexander hanya tinggal berdua, karena Ptolemeus meninggal karena penyakit selama perjalanan di kapal. Meski keduanya tinggal bersama Oktavia—kakak perempuan Oktavianus yang saat itu menjadi Caesar Roma, yang juga istri pertama Markus Antonius sebelum memperistri Cleopatra—diperlakukan dengan sangat baik sebagai tamu keluarga. Selain Oktavia sendiri, ada putranya Marcellus yang menjadi kandidat kuat pewaris jabatan Caesar bersama dengan Tiberius, putra tiri Oktavianus (anak istrinya Livia dengan suami pertama). Marcellus yang gagah dan tampan segera menarik hati Selene, sayangnya Marcellus telah dijodohkan dengan Julia—putri Livia dengan Julius Caesar. Hingga saat ini anda tentu bingung membaca pertalian keluarga yang rumit ini, namun begitulah yang terjadi dalam sejarah, anda hanya harus terus membaca buku ini, dan lama kelamaan akan terbiasa juga.

Sebagai anak yang dibesarkan di Alexandria, ibu kota Mesir yang sangat tinggi peradabannya, penuh keanggunan dan kemewahan, Selene dan Alexander terkejut ketika melihat kerajaan Romawi yang kotanya carut marut dan moral penduduknya rendah. Di sepanjang kisah ini, Moran mengajak kita menyaksikan sejarah Romawi bergulir lewat sudut pandang Selene, terutama sejarah di seputar pemerintahan Oktavianus atau Kaisar Augustus.

Beberapa hal mencolok yang dapat kita catat dari Oktavianus adalah kepercayaannya pada peramal dan hal-hal gaib yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Memang saat itu sebelum diadakan sesuatu yang penting, peramal harus menyembelih hewan dan melihat isi perutnya untuk menentukan apakah dewa-dewa merestui rencana itu untuk dilaksanakan atau tidak. Namun yang sering aku baca di buku-buku tentang Romawi saat itu, ritual itu hanyalah sekedar formalitas belaka. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Oktavianus, beliau benar-benar mempercayainya.

Hal lain yang menarik adalah timbulnya pergerakan menentang perbudakan. Ada seorang pemberontak yang menamakan dirinya Elang Merah (tambahan fiktif di novel ini) yang menjadi duri dalam daging kekuasaan Oktavianus. Meski Elang Merah hanya rekaan, namun dari tulisan-tulisan sejarah, terlihat bahwa gerakan menentang budaya perbudakan memang telah ada pada jaman itu. Selene, Alexander, Oktavia, Marcellus dan seorang budak bernama Gallia adalah beberapa yang memiliki keprihatinan terhadap kesemena-menaan terhadap kaum budak.

Oktavianus juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik dan suka membangun gedung-gedung indah seperti halnya kebiasaan di Romawi saat itu. Selene kebetulan memiliki minat pada arsitektur—berkat pendidikannya di Mesir—dan sangat suka menggambar sketsa. Oktavianus menyetujui Selene untuk belajar arsitektur pada seorang guru saat itu, meskipun wanita yang berkecimpung dalam pembangunan gedung saat itu sangat langka.

Salah satu yang membuatku kagum adalah langkah yang diambil Oktavianus untuk mengukuhkan kekuasaannya secara mutlak. Tanpa tanda-tanda apapun, tiba-tiba suatu hari Oktavianus mengumumkan bahwa dirinya akan meletakkan jabatan sebagai Caesar. Kontan Senat dibuat panik, mereka membujuk Oktavianus untuk mengurungkan niatnya, karena Roma pasti akan hancur tanpa pemimpin yang memiliki wibawa. Sebenarnya Oktavianus sudah memperhitungkan langkahnya ini, ia tahu bahwa tak ada yang mampu memimpin Roma saat itu selain dirinya. Dan benar saja, dalam rangka membujuk Oktavianus, Senat menganugerahkan gelar Augustus kepadanya dan memberikan kuasa sepenuhnya selama sepuluh tahun ke depan yang tak dapat diambil darinya. Betapa penuh perhitungan sang Augustus ini, seorang pria kurus yang sakit-sakitan namun memiliki tekad dan hati sekuat baja.

Selene mengalami semuanya itu sementara dirinya sendiri tumbuh makin dewasa bersama Alexander, Julia dan Marcellus. Dari seorang anak kecil yang cerdas dan berkemauan kuat, kita akan diajak melihat Selene yang memiliki khasrisma yang memancar kuat dari dirinya. Suatu hal yang dikagumi oleh Marcellus—meski ia tetap mencintai Julia, dan menumbuhkan perasaan cinta di hati seorang pria yang selama ini seolah ada di balik layar, meski dari semula aku sudah menduga bahwa ada sesuatu dalam diri si pria yang membuatnya selalu melindungi Selene.

Kisah ini cukup menarik, hanya saja aku kurang merasakan kedekatan emosional saat aku membacanya. Aku hanya merasa seperti mengikuti kisah hidup Selene dan semua yang terlibat di sekitarnya dari jauh. Aku tak merasakan greget seperti saat aku membaca Imperium dan Conspirata, di mana aku merasa seolah aku sendiri terseret masuk ke jaman Cicero masih hidup di Roma. Sebenarnya aku mengharapkan lebih dari seorang Michelle Moran yang telah banyak menuliskan fiksi sejarah, namun itulah yang kudapati di kisah ini. Lumayan menarik namun hambar.

Tiga bintang untuk Selene!

Judul: Selene Putri Sang Cleopatra (judul asli: Cleopatra’s Daughter)
Penulis: Michelle Moran
Penerjemah: Sujatrini Liza
Penerbit: Esensi
Terbit: November 2009
Tebal: 499 hlm.