Tuesday, April 9, 2013

The Flames of Rome


Historical fiction yang ditulis oleh seorang sejarawan memang memberikan sensasi yang berbeda dibanding dengan karya penulis biasa. Karya-karya Paul L. Maier contohnya; aku telah mengagumi karya beliau lewat Pontius Pilatus yang nyaris sempurna dalam keakuratannya (karena menggunakan dua sumber, yakni kitab suci dan sejarah). Dan dari sanalah aku langsung tertarik membaca historical fiction bertema Romawi dan Kristiani ini: The Flames of Rome.

The Flames of Rome mengambil kisah sejarah mulai pemerintahan Claudius Caesar, seorang kaisar Romawi yang terkenal gagap (‘Clau-Clau-Claudius’, demikian ia sering dipanggil dalam olokan), dan selalu saja salah memilih istri yang di kemudian hari berambisi merebut tahtanya. Istrinya yang terakhir adalah Agrippina, yang berambisi menaikkan putranya Nero menjadi kaisar. Singkat kata Agrippina berhasil, dan Nero pun naik menjadi Kaisar pada tahun 54 di usia yang baru tujuhbelas.

Meski darah ibunya yang serakah dan tak bermoral mengaliri nadinya, Nero tak serta merta sesadis sang ibu, berkat didikan Seneca—seorang filsuf penganut aliran stoic yang menjadi tutor sang Kaisar—bersama Burrus—Kepala Prefek Roma. Di saat-saat awal pemerintahannya, Roma berharap banyak bahwa akhirnya mereka akan menikmati masa-masa sejahtera. Sayangnya, jerih payah Seneca untuk menjadikan Nero kaisar yang beradab dan berwawasan dimentahkan oleh pengaruh negatif kawan-kawan seumuran sang kaisar yang mengajaknya berbuat kriminal sehingga meresahkan rakyat. Ditambah dengan karakter Nero sendiri yang picik dan sangat ketakutan tahtanya akan direbut, maka akhirnya hasutan sahabat-sahabatnya makin membuat tingkah Nero brutal dan tak bermoral. Sekali lagi….Roma dibayang-bayangi keruntuhan moral yang membuat bangsa yang pernah dikatakan sebagai pusat dunia itu kini ditertawakan orang, Roma yang membangga-banggakan peradabannya, kini dipenuhi kebiadaban dan kemaksiatan.

Namun, pada saat-saat seperti itu, masih ada bangsawan Roma murni yang masih mempertahankan integritas dan hati nuraninya, seperti Aulus Plautius dan Titus Flavius Sabinus. Meski kisah ini ditulis dari sudut pandang orang ketiga, namun jelas bahwa Maier ingin meletakkan Sabinus sebagai pusat cerita. Pulang dari penaklukan Inggris bersama Claudius Caesar, Sabinus adalah anak buah Aulus Plautius. Pada hari penyambutan para pahlawan ini, mata Sabinus tertumbuk pada seorang gadis manis yang ternyata adalah Plautia, putri Plautius.

Kisah cinta Sabinus dan Plautia ini cukup memberi warna segar pada kisah sejarah yang menjijikkan dan penuh kekejaman ini. Rupanya, meski seorang sejarawan yang biasa menorehkan karya-karya serius, Maier cukup renyah membahas karakter Sabinus yang hangat, humoris, cakap menjalankan tugas sebagai negarawan, berani menentang kejahatan, teguh berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan mau menggunakan hati nuraninya. Aku kagum pada Sabinus yang—ketika dipaksa oleh Ratu Agrippina berselingkuh—berani dengan tegas menolak ajakan sang Ratu, meski ia tahu konsekuensi berat menantinya saat sang Ratu akan membalas dendam atas penolakannya. Dan saat bencana itu datang, Sabinus dengan terus terang mengakui apa yang telah terjadi, yang menjadi sumber kemarahan sang Ratu. Benar-benar sosok yang berharga bagi Roma. Dan Sabinus pun akhirnya mendapatkan kepercayaan dari Nero, sebagai Prefek Kota, jabatan tertinggi di kota Roma sendiri.

Namun, meski Sabinus bersama Seneca selalu berusaha meredam sisi liar sang Kaisar, pengaruh buruk dari sahabat dan istrinya begitu kental pada Nero sehingga ia makin lama makin tak terkendali, terutama setelah ia membunuh semua orang yang berpotensi merebut kekuasaannya. Pada masa-masa itulah ‘sekte’ baru yang disebut Kristiani—atau pengikut nabi yang mati di salib di Yudea yang disebut Kristus—perlahan-lahan merembes memasuki kerajaan Romawi, bahkan di kota Roma sendiri, dan di istana Kaisar serta keluarga para Senator Roma. Maier mengajak kita mengenal Paulus, Petrus, Lukas dan Markus, juga warisan yang mereka tinggalkan bagi kita hingga saat ini.

Menarik juga membaca bagaimana—menurut analisa Maier yang masuk akal—Paulus menyebarkan Kekristenan terutama di Roma. Di sini dikisahkan juga pengadilan Paulus di depan Nero, di mana sang Kaisar terpukau oleh sikap dan tatapan mata Paulus—atau bisa jadi itu adalah karya Roh Kudus!—akhirnya membebaskan sang Rasul. Namun karena jemaat Kristiani pertama memang harus menanggung derita yang sangat hebat demi penyebarannya yang kelak mendunia, maka seperti yang telah tertoreh pada lembar sejarah, umat Kristen menjadi kambing hitam kepengecutan Nero.

Saat itu Roma dilanda kekeringan hebat, dan ketika salah satu rumah di kawasan kumuh nan sesak terbakar, dengan cepat angin Rococo menghembuskan bara api ke segala penjuru, dan akhirnya terjadilah kebakaran hebat yang bahkan membakar kawasan istana Nero. Ketika rakyat yang kelaparan mengharapkan kemurahan hati Kaisar, Nero malah merencanakan pendirian istananya yang super megah. Ini membuat rakyat marah, dan untuk meredam amarah mereka, orang-orang terdekat Nero menghembuskan ide untuk mencari ‘kambing hitam’. Ditambah dengan kecurigaan Roma dan kebencian kaum Yahudi selama itu, terjadilah pembantaian mengerikan terhadap jemaat Kristiani itu.

Maier dengan berani menyajikan kekejian itu tanpa ditutup-tutupi, karena betapapun buruknya, itu adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Dan kekejian itu nyatanya memang harus terjadi, karena sejak saat itulah justru kekristenan tumbuh makin pesat ke seluruh dunia, dan Roma-pun menjadi pusatnya. Sayangnya Maier tidak memberikan semacam catatan tentang keterkaitan antara Titus Fabinus Clemens (putra Sabinus) dengan Paus Clement. Ada yang mengatakan Paus Clement I adalah budak-yang-sudah-dibebaskan dari Clemens, namun tak ada catatan yang pasti. Kemungkinan, Clemens—putra Sabinus—akhirnya menjadi Kristen, hal yang tak mengherankan, sebab neneknya (ibu Plautia) sudah menjadi pengikut Kristus berkat ajaran Paulus. Dari buku ini aku pun menyadari bahwa Sabinus sebenarnya sangat “Kristen” meski ia tak memeluk agama itu, mengingat prinsip hidupnya yang tak segan berkorban bagi rakyat. 

Empat bintang untuk kisah ini, karena meski aku sangat menikmatinya, namun begitu banyaknya typo menyebabkan kenikmatan membaca sungguh ternoda…