Tuesday, June 28, 2011

Genghis Khan 1: Sang Penakluk


Aku sedikit mengenal tokoh pemersatu rakyat Mongol bernama Genghis Khan ini sejak kecil. Hanya saja, selama ini aku merasa ada dualisme dalam penilaian akan karakter Genghis Khan ini. Di satu sisi ia dianggap pahlawan, sementara di sisi lain ia adalah orang barbar. Mana yang benar? Mengapa satu orang yang sama bisa memiliki dua sisi sejarah? Mungkin ini alasannya…


It is hard to pass fair judgment on historical facts of which we have no eye witness (sulit juga membuat penilaian yang adil terhadap fakta sejarah yang tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri) ~Prakata


Beruntunglah kita, karena bulan April 2011 lalu Penerbit Bentang Pustaka telah menerbitkan versi terjemahan Buku Genghis Khan: Sang Penakluk ini untuk kita. Buku ini mengungkapkan sejarah seorang pria Mongolia bernama Temujin, yang kelak akan menjadi seorang penakluk terbesar yang pernah hidup di dunia: Genghis Khan. Luas wilayah yang pernah ia taklukkan sekitar 35.000.000 kilometer persegi -- 2,2 kali lebih besar daripada wilayah taklukan Alexander Agung, dan 6,7 kali lebih luas daripada wilayah yang berhasil dikuasai Napoleon Bonaparte. Kekaisaran Romawi bahkan hanya seperempatnya saja. Namun yang menurutku membuat Genghis Khan layak disebut hebat, bukan hanya luasnya wilayah taklukan, melainkan lebih pada kecerdikannya, kebijaksanaannya dalam memerintah, serta semangat, kesabaran, ketekunan dan keberanian dalam karakternya. Hanya lewat buku inilah kita akan melihat karakter Genghis Khan sebagai manusia. Dan hanya setelah membaca buku ini, anda akan memahami mengapa Genghis Khan disebut sebagai pahlawan.

Kisah diawali dengan memperlihatkan ordu (perkampungan/desa) Yesugei yang merupakan markas suku Mongol Kyat, sebagai salah satu yang terkuat pada sekitar abad ke duabelas. Saat itu adalah masa-masa para nomad yang mendiami Dataran Mongolia terpecah belah menjadi ratusan klan dan suku yang berbeda-beda sehingga sering terlibat dalam konflik berkepanjangan. Saat itu, yang kuat akan menghancurkan yang lemah. Sehingga yang lemah hanya punya dua pilihan: hancur atau bergabung pada kelompok yang lebih kuat. Semua orang, semua klan, semua suku tidak memiliki teman atau musuh yang tetap. Kawan hari ini bisa menjadi musuh esok hari bilamana berbeda pandangan, karena kalau kau tak menghancurkan pihak lain duluan, pihak lainlah yang akan menghancurkanmu. Karena situasi seperti inilah orang Mongolia terpecah belah, dan kalau hal itu berangsur-angsur terjadi, suku Mongolia akan punah selamanya.

Yesugei adalah salah seorang yang memiliki impian untuk menyatukan seluruh Mongolia. Yesugei memiliki beberapa putra dan putri. Salah satu putra yang dibanggakannya adalah Temujin, yang lahir dari istri kedua, seorang wanita bernama Ouluun. Dari semenjak kecil, Temujin telah menunjukkan kualitasnya sebagai calon pemimpin besar. Ia tak hanya terampil menunggang kuda dan memanah, namun kecerdasan dan karakter kuatnya sudah mulai memancar. Sepertiga dari awal buku ini dengan sangat detail menggambarkan kehidupan Temujin kecil. Bagaimana ia belajar segala sesuatu (saat itu tak ada sekolah) dari berbagai sumber. Ajaran ayahnya, dongeng dari ibunya, pengalaman di alam bebas bersama Mamay (paman dari pihak ibunya). Singkatnya, setiap hal yang dilihat, didengar dan dialaminya selalu dicerna dengan kritis, mengapa A terjadi? Mengapa B melakukan C? Temujin bukan hanya merenungkan misteri-misteri itu, namun ia selalu menemukan jawabannya untuk dimasukkan ke dalam memorinya. Pendek kata, tak ada hal yang luput dari perhatiannya.

Ketika usianya baru 9 tahun, Temujin sudah akan ditunangkan dengan seorang anak perempuan berusia 10 tahun dari suku Olqunuud, bernama Borte. Saat Yesugei pulang dari mengantarkan Temujin ke ordu calon mertuanya, ia diracun oleh orang Tartar yang menjadi musuh kaum Mongol Kyat. Seharusnya, Temujin adalah pewaris Yesugei, dan berhak menjadi pemimpin suku mereka. Namun, karena rakyat merasa mereka menjadi lemah setelah kematian Yesugei, banyak pendukung Yesugei yang meninggalkan ordu. Bahkan kerabat Temujin. Salah satu yang masih setia pada Temujin adalah Yamuka. Yamuka telah menjadi sahabat Temujin sejak kecil, mereka tumbuh bersama-sama. Mereka berdua bahkan telah menjadi anda. Anda adalah dua orang yang bersumpah setia menjadi saudara.
Dari antara kaum nomad yang bergabung dengan Yesugei saat masih hidup, adalah kaum Taichut. Kaum Taichut merupakan nokhod (orang bebas yang bisa pergi kapan saja mereka mau). Begitu Yesugei meninggal, kaum Taichut mengambil alih ordu Yesugei yang seharusnya menjadi milik Temujin. Temujin terpaksa melarikan diri bersama ibu dan sedikit orang yang masih setia kepadanya. Dari sebuah ordu yang memiliki lima belas ribu kepala keluarga dan merupakan salah satu yang terkuat, tiba-tiba keluarga Temujin jatuh ke jurang kemiskinan yang amat dalam. Ini karena di stepa berlaku hukum, bila suatu klan memenangkan peperangan, ia berhak atas pampasan perang dari pihak yang dikalahkan, berupa ternak, harta benda, termasuk orang (kecuali tentu saja bagi yang melarikan diri). Saking miskinnya, keluarga Temujin bahkan tak bisa makan daging domba dan sapi yang menjadi makanan pokok orang Mongolia. Kekalahan dari kaum Taichut itu bukanlah akhir dari peperangan mereka. Karena beberapa tahun kemudian, tatkala Temujin sudah berusia empat belas tahun, kaum Taichut kembali memburu ordu Temujin. Perjalanan terjal pun kembali harus dilalui Temujin. Dalam keadaan terdesak, ia mampu menyelamatkan keluarganya meski ia sendiri akhirnya tertangkap kaum Taichut. Namun berkat kebaikan salah seorang mantan pengikut Yesugei, ia pun dapat melarikan diri.

Setelah kembali kepada calon mertuanya dahulu, dan kali ini benar-benar mempersunting Borte, Temujin pun mulai berupaya mempersatukan kaum Mongolia, sebuah cita-cita yang diamanatkan oleh mendiang ayahnya. Sebuah usaha yang nampak sia-sia! Berjuang membangun ordu besar dari titik nol merupakan usaha luar biasa. Tapi untuk mempersatukan dataran Mongolia? Mustahil. Mungkin bagi sebagian besar orang, namun tidak bagi Temujin. Saat itu mungkin ia tak punya dukungan dan harta berlimpah, namun ia memiliki modal kuat yang tak dimiliki orang lain: Visi. Kalau pun anda-nya, Yamuka memiliki visi yang sama, namun ia hanya berhenti pada cita-cita itu saja. Sebaliknya, Temujin telah memikirkan langkah demi langkah yang harus dilakukannya untuk meraih cita-cita itu. Visi semata tidaklah cukup, orang harus memiliki visi yang jelas, dan tahu apa yang perlu dilakukannya, bagaimana cara terbaik untuk melakukannya, dan tentu saja yang terpenting: keberanian dan kesabaran untuk mewujudkannya. Itu semua dimiliki Temujin, dan dalam usia muda itu, ia segera melakukannya. Sedikit demi sedikit kehormatan dapat ia raih. Banyak orang yang dulu melarikan diri, kini kembali bergabung dengannya. Bahkan Toghrul Khan, pemimpin klan terbesar saat itu pun mengangkat Temujin menjadi anak angkatnya. Apakah dengan semua itu berarti ia telah sukses? Belum, perjalanan masih jauh. Temujin harus berkali-kali mengalami jatuh bangun, diserang, dan dikhianati. Kadang memenangi pertempuran, kadang juga dikalahkan. Bahkan Borte, istrinya, harus mengalami penculikan dan pemerkosaan ketika ordu mereka kalah. Semuanya itu hanya makin membuat semangat Temujin menggelora. Sayangnya kita belum dapat mengikuti kisah Temjujin dalam kiprahnya sehingga menjadi sang penakluk paling besar dan mashyur di dunia: Genghis Khan. Kisah ini harus berlanjut di buku kedua, sedang buku pertama ini memperlihatkan perjuangan dan jatuh bangun yang dialami Temujin dari sejak kecil.

Meski demikian, setelah membaca buku pertama inipun, aku jadi dapat melihat sosok Genghis Khan yang sebenarnya. Kalau orang menilainya kejam, sadis, bahkan barbar, menurutku itu karena kondisi pada saat itu yang mengharuskannya membunuh lawan-lawannya. Kita harus ingat, bahwa sebagian besar kaum nomad memang masih barbar saat itu. Untuk mempersatukan mereka, memang harus dengan jalan kekerasan. Kalau tidak, selamanya mereka takkan pernah bersatu, dan malah akan punah karena selalu terlibat konflik dengan sesama orang Mongolia sendiri. Toh meski harus membunuh lawan, ia melakukannya ketika perang atau bila orang tersebut akan membahayakan ordunya. Pada mantan musuh yang ia pandang akan setia, ia akan mengangkatnya menjadi anggota pasukannya.



Yang aku kagumi juga dari Temujin adalah perlakuannya terhadap para pengikutnya. Temujin menuntut kesetiaan mereka kepadanya, dan sebagai imbal baliknya ia memberikan keadilan dan perlakuan yang setara bagi semua orang. Bahkan ia sendiri mengenakan pakaian yang sama dan makan makanan yang sama seperti yang dimakan bahkan oleh penggembala lembu (yang termasuk warga paling rendah). Hal ini membuat pengikutnya memandang Temujin sebagai pemimpin yang adil dan mau berbela rasa, dan merupakan hal yang tak lazim, mengingat pemimpin lainnya pada saat itu hidup dalam kemewahan.

Akhirnya, dari buku pertama ini aku bisa memahami sudut pandang Temujin dalam keputusannya untuk menggunakan kekerasan dalam mempersatukan Mongolia. Seperti yang dikatakan oleh Sam Djang di awal tulisanku ini, memang sulit membuat penilaian yang adil terhadap fakta sejarah, jika tidak kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Karena kita tak mungkin dapat kembali ke masa lampau, kita harus mengandalkan buku ini untuk membawa kita ke masa itu, ke salah satu masa sejarah paling keemasan di muka bumi ini. Salut pada Bentang yang telah menerjemahkannya dengan baik!

Judul: Genghis Khan 1: Sang Penakluk
Judul asli: Genghis Khan: World Conqueror, volume 1
Penulis: Sam Djang
Penerbit: Bentang Pustaka
Penerbit versi asli: New Horison Books, North Hills, 2010
Penerjemah: Reni Indardini
Terbit: April 2011
Tebal: 503 hlm